Sensei from Another World - 01

Arc 1 - Pengembangan Diri

Lesson 1 - Migrasi Dunia Paralel



Hari senin, yang aku tahu, itu adalah hari paling menyebalkan. Karena kalian tahu, pada hari itu juga kejadian ini terjadi. Hari di mana hal yang tak pernah kusangka ada, menimpaku; hari di mana hal logis dan fantasi bertumbukan, lalu dijejalkan ke kepalaku. Pada hari itu ketenangan yang aku jaga baik-baik seketika harus kukorbankan.

Tepat setelah suara ledakan yang memekakkan melumpuhkan telinga beberapa saat, pandangan menyilaukan, lalu suara-suara yang bergaung, aku tiba-tiba terlempar ke tempat kosong nan hening. Entah tempat apa, tapi yang jelas, saat itu aku juga tak yakin untuk menyebutkannya dengan sebuah tempat.

Kenapa? Alasannya karena hanya kegelapan pekat yang tak jauh beda antara membuka dan menutup mata di sekelilingku. Itu seperti ruang kosong.

Suara tiba-tiba mendengung ke kepalaku, suara itu menggema dan mirip dengan suaraku, memberitahukanku alasan dari kejadian ini dan menjawab semua pertanyaan di kepalaku yang tak sempat kuucapkan. Karena terdesak, mau tak mau, aku menurut, aku ikut ke dunia yang lain. Setelah beberapa saat, cahaya menyilaukan memenuhi pandangan, lalu aku tersadar kembali, merasakan sensasi yang tak asing; merasakan sensasi yang disebut dengan hidup.

Bingung dan kecemasan melanda. Alasannya adalah, aku berada dalam tubuh seorang bocah berumur 3 tahun.

Baiklah, mari kita ulang beberapa saat ke belakang, sebelum kejadian ini terjadi.




***


Hari itu, entah hari senin ke berapa dalam hidupnya yang kini mencapai kelas 2 SMA. Yang jelas hari senin, semenjak dia bersekolah, hari itu adalah hari senin seperti biasanya untuk siswa seperti dia, Midan Mahendra. Ia hanya seorang siswa biasa yang tak jauh beda dengan siswa pada umumnya. Seorang siswa biasa yang membenci datangnya hari senin karena satu alasan. Ya, upacara.


“Huaah….”


“Miidan, selamat pa~gi~.”


Seorang gadis berseragam yang sama dengannya menyapa, tepat saat ia menutup pintu, berjalan meninggalkan pintu kamarnya dan menguap. Dia mendesah lemah, pagi-pagi begini udah disapa manis oleh tetangga cantik nan mengandung racun.


Mengandung racun? Ya, racun bernama kekacauan yang menggerogoti hidupnya yang damai dan tenang.


Gadis itu merupakan seorang gadis cantik; dan bukannya sombong, dia adalah teman masa kecilnya. Dia adalah sumber masalah bagi Midan. Gadis ini benar-benar memiliki sikap yang berbeda antara saat dengan Midan dan saat berhadapan dengan orang lain. "Gadis ini adalah biang dari semua masalah yang menimpaku.", ya Midan mungkin mengatakan hal itu dalam hatinya.


Saat berdua dengan Midan, gadis itu adalah gadis paling jahil dan semaunya. Saat berhadapan dengan orang lain, ia seolah pribadi yang berbeda. Bicara halus, sopan, anggun, ramah, uh, pokoknya berbanding 180 derajat bedanya. Jadi bukan hal yang aneh lagi bila orang-orang memandang Midan sebagai serangga pengganggu yang membuat orang lain iri; ia selalu bersama dengan gadis itu. Padahal tanpa diduga, dia juga merupakan pihak yang tersiksa.


‘Oh Tuhan, apa salahku?’


Gadis itu bernama Aida Rahma. Dia memiliki tubuh sedikit lebih pendek dari Midan, hanya berbeda sekitar 7 cm. Meskipun begitu, postur tubuhnya benar-benar bisa dikatakan sempurna. Tak terlalu berlebihan ataupun terlalu kurang. Benar-benar dalam proporsi yang sempurna untuk dijadikan sebagai seorang bintang sekolah, atau bahkan, jika dia dijadikan seorang model majalah remaja juga takkan ada yang protes.


Meskipun banyak mengganggu, tetap saja, Midan juga mengakui hal itu. Selain itu juga, Aida tetap seorang pribadi yang jujur, tak peduli kepribadian mana yang ia pakai.


Untuk orang seperti Midan, meski tubuhnya memiliki tinggi yang lumayan, yaitu 173 cm, perawakannya benar-benar dalam taraf biasa dan rata-rata. Tak ada yang bisa diunggulkan darinya. Kacamata yang ia kenakan mengurangi kesan orang-orang terhadap dia. Dia hanya maniak game, maniak militer, penyendiri, pemurung, introvert, tipis hawa keberadaan dan gak asik diajak ngobrol. Pokoknya, gak bisa disandingin ama Aida yang cantiknya luar dalem.


Tentu saja, itu hanya penilaian luar orang-orang.


Dia hanya ingin memiliki hidup yang tenang dan damai saja, jadi dia tutupi semua. Meski sebenarnya, ia bisa saja mendadak populer jika ia mau. Contoh kecilnya, postur tubuh di balik baju dan almamater yang ia pakai. Di balik itu, terdapat tubuh yang atletis yang telah terlatih. Ia repot-repot mengganti nama belakangnya dengan Zaidil dan tinggal di rumah susun untuk mendapat apa yang ia impikan. Ketenangan.


Tapi, tetap saja, Midan pindah, Aida juga ikut pindah ke rumah susun itu, bahkan ajaibnya mereka tetanggaan. Entah itu direncanakan atau sebuah kebetulan atau entah rencana apa lagi, yang jelas ia berdoa dan berharap banyak itu takkan membebani hidupnya.


“Hah … kau itu, apa tak bosan menyapaku setiap pagi? Kau tahu, hal seperti ini dapat menyebabkan kedamaian dalam hidupku hilang. Lagian kalau ketahuan, bisa salah paham, tahu. Entar, aku juga yang susah,” Midan mengeluh.


“Kamu itu, ya,” Aida membalas. “kamu punya banyak kelebihan dibandingkan aku, kalau mereka kayak gitu, kamu tinggal buktiin ke mereka bahwa kamu lebih baik dari mereka. Nah, solusi yang bagus, bukan?”


“Oi, oi, oi. Mau berapa kali aku bilang, wahai sohibahku, Aida. Aku tak suka populer, itu merepotkan, tahu.”


“Dasar, padahal aku itu pengennya deket terus ama kamu.”


“Haduh… elu terus nempel kayak gini dan bilang pengen deket terus, jangan bercanda deh, Aidaku sayang.”


“Aaah, dasar. Gak peka!”


“Hah, apa?!” Midan bertanya, merasa salah dengar.


“Bukan apa apa! Dasar bego! Bodoh! Tolol! Idio~ott!!” Aida berbalik, memalingkan muka dan memutar tubuh.


“Hei!” Takada balasan dari Aida. “Dasar, wanita yang aneh.”


Aida berjalan mendahului, meninggalkan Midan yang mulai minta ditunggu. Tanpa memberikan jeda pada langkahnya, dia berangkat ke sekolah dengan muka sebal dan cemberut.


“Dasar Midan bego!”


***

Aida berlari dengan muka yang terlampau kesal. Tapi, tentu saja, dia menikmatinya, dia menikmati hal itu karena Midan yang dengan susah payah mengejarnya. Bibirnya sedikit terdistorsi ke samping, ia tersenyum.


“Hei, Aida, tunggu, hei!”


Midan tak punya pilihan lain selain mengejar. Alasannya, tentu bukan karena ia ingin berangkat bersama ke sekolah bersama dengannya, tapi karena jika Aida terkena mood yang tak seharusnya, ia bakalan memberitahu lokasi Midan pada ayahnya dan itu adalah hal yang perlu dihindari. Alasan yang satunya lagi adalah, Aida yang membawa kacamata Midan.


Tanpa sadar, aksi kejar-kejaran mereka yang berlangsung sekitar 10 menit itu mendadak berhenti. Aida yang tadi dikejar oleh Midan bersandar pada dinding bangunan dengan senyum kambing dilontarkan pada Midan yang baru sampai. Posisi keduanya kali ini adalah 14 meter sebelah kiri dari gerbang sekolah, di sebuah gang. Karena Midan yang baru saja berkeringat memasang muka yang kalem-kalem aja, Aida menyeringai, tapi segera digantikan oleh distorsi lebar di mulutnya. Ia tersenyum, senyumnya penuh dengan aura jahat dan hawa tak mengenakan bagi Midan. Alih-alih sesak karena berlari, ia malah bernapas berat karena Aida yang memasang raut muka seperti itu.


‘Sialan, nasib buruk di depan mata.’


“A-aida?” Midan mendahului untuk berucap.


“Ada apa, Midan? Capek kah? Atau mungkin … mau ini?”


Aida menunjukkan kacamata yang baru saja ia ambil. Midan berekspresi getir. Jelas sekali bahwa itulah yang dicarinya--kacamata satu-satunya.


“Hei, hei, Midan. Aku penasaran, apa yang akan terjadi ya, kalau aku menyeretmu ke depan orang-orang tanpa kacamata ini?”


Glek!


Midan tak dapat menjawab. Ia hanya menenggak ludahnya. Keringatnya mulai bercucuran di pipi dan dagu. Jelas saja, itu adalah hal yang paling dia hindari. Alasannya, wajahnya itu sudah terlalu familier di kalangan publik. Sudah lebih dari sekali wajahnya itu--versi tanpa kacamata tentunya--menghadiri acara dan ditampilkan di layar kaca. Kalau wajahnya itu ditampilkan di publik, tentu keramaian dan kepopuleran yang Midan benci pasti mengerumuninya. Belum lagi, karena kegemparan itu, posisinya dapat dilacak oleh keluarganya dan nantinya ia diseret lagi ke rumah lamanya.


Itu buruk.


Dengan segera, ia menolakkan kakinya ke tanah dan secara paksa mengambil kacamatanya. Aida yang sadar bahwa benda yang ia gunakan sebagai ancaman telah direbut tersentak. Ia menggembungkan pipi dengan alis saling bertautan. Ia kesal, mimik mukanya berubah menjadi masam. Ia berjongkok, menutupi muka dengan kedua tangan, lalu pura-pura menangis.


Midan yang mengira mendapat kemenangan pertamanya dari Aida celingak-celinguk, palingkan kepala ke kiri dan ke kanan. Ia merasa risih, Aida yang menangis pasti menarik perhatian orang dan nantinya membuat Midan kerepotan.


“A-aida?”


“Hu… hu…. Mi-midan jahat….”


Midan tersenyum masam. Ia selalu saja kalah kalau dengan Aida.


‘Sialan,’ katanya dalam hati. ‘bisa repot kalau ngikutin kemauannya, tapi kalau ditinggal lebih repot juga, bisa-bisa dia telpon bokap gua entar.’


“A-aida, hei, udah ya, hei.”


“Hu… gak, Midan galak. Aku gak akan berenti.”


“Hei, Aida, udah ya, udah. Ah, iya, a-aku j-janji deh bakalan ngabulin permintaan kamu, apapun boleh deh, apapun. Tapi, nangisnya udahan ya.”


“Beneran?!”


“Geh!”


Aida yang bangun tiba-tiba membuat Midan mengeluarkan suara aneh. Seperti yang ia duga, Aida tadi pasti pura-pura dan bodohnya dia dapat ditaklukan dengan itu.


“Minta apa ya, minta apa ya?”


Sementara Aida masih memikirkan permintaannya, Midan menghela napasnya. Ia memakai kacamatanya, mengubah gaya rambutnya seperti biasa dan mulai berjalan pergi.


“Cium!”


“Hah?!”


“Aku minta cium!” kata Aida dengan semangat.


“Di kening?”


“Di bibir dong!”


“Kening. Kita belum sah.”


“Kamu mau halalin aku?”


“Geh, enggak lah!”


“Ih, Midan kamu dah janji tahu!”


“Entar, sekarang udah mepet, mau masuk!” kata Midan tanpa berbalik dengan tegas.


“Nikahnya?”


“Ma-mana mungkinlah!!”


“Mu~…. Dasar, ya… apa boleh buat.”


Tepat 5 menit sebelum gerbang ditutup, mereka berdua memasuki halaman sekolah dan pergi ke kelasnya.


***


Kursi paling belakang, di dekat jendela, di situlah seorang Midan berada. Guru di jam pelajaran sebelum  istirahat mengajar dengan semangat di depan kelas. Dalam kelas, dia berusaha untuk tak terlalu menonjol. Tak terlalu negatif atau positif untuk dilihat, dalam artian lain, mencoba sebiasa mungkin.


Pada pelajaran pertama adalah ulangan harian Matematika. Meski ia dapat mengerjakan semua dengan benar, ia tak akan melakukan hal itu. Ia bertujuan meraih nilai tepat pada KKM. Yup, rata-rata.


Dalam kelas, ia tak akan berlebihan untuk memposisikan diri. Cukup menjadi murid biasa, dengan kemampuan rata-rata supaya hidup tenang dan damai. Cukup itu saja.


“Teng dong teng~…! Saatnya istirahat.”


“Oke, anak-anak, pembelajaran kita kali ini dicukupkan sampai di sini. Jangan lupa pelajari kembali di rumah, sampai bertemu lagi di pertemuan kita selanjutnya.”


Bel istirahat berbunyi. Guru yang mengajar memberi ucapan perpisahan. Semua anak laki-laki berhamburan keluar, sesaat setelah guru yang mengajar di jam sebelum istirahat itu meninggalkan ruangan. Dari keseluruhan laki-laki, hanya Midan yang tak terbawa arus. Dia masih mendekam di mejanya, membaca novel bergenre fantasi yang ia bawa dari rumah sambil sesekali menatap keluar jendela; dia menikmati ketenangan hidupnya ini.


Para siswi satu persatu keluar, membeli makanan untuk mengganjal perut atau hanya menghilangkan penat dengan bergosip bersama. Karena ada beberapa tugas yang belum dikerjakan di pelajaran setelah jam istirahat, beberapa siswi masih berada di ruangan kelas.


Krueek…!!


Suara dari perut Midan terdengar. Aida dan siswi yang lain yang berada di depan Midan sontak menoleh.


“Aah …,” Midan mendesah. Ia tak punya pilihan lain, ia harus mengisi perut yang belum sempat ia isi tadi pagi.


“Kantin? Tidak, mending ke mesin minuman otomatis saja.”


Ia bergumam sebelum beranjak, bertanya pada dirinya sendiri. Aida mengikuti. Walau agak jauh, dia membuntuti sambil membawa bekal makan siangnya.


***


“Hei, hei, hei, Midan, bisa tunggu sebentar?”


‘Sialan, nasib sial datang. Enggak Aida, para keroconya yang datang. Oh, Tuhan, tolong beri aku ketenangan.’


Tiga siswa bermuka garang mendekati Midan yang baru saja membeli minuman dari mesin penjual minuman otomatis.


“A-ada apa, ya?” Midan berucap seramah mungkin, dia tak mau terlibat pertengkaran tak jelas yang dapat merusak hidup damainya.


“Jangan bertele-tele, Son, sikat aja!” siswa berjaket merah di belakang siswa yang berbicara dengan Midan memanasi. “Hajar aja, hajar. Biar tahu rasa dia!”


“A-anu, a-ada apa, ya?” Midan kembali berakting sebagai siswa yang lemah.


“Ya… gimana ya, kautahu 'kan Aida Rahma, dia cewek paling cantik, cewek idola sekolah ini, 'kan?”


‘Dia belum tahu sifat aslinya,’ Midan berujar dalam hati.


“I-iya, a-aku, aku tahu.”


“Nah, kalau tahu, jangan malah cari muka deh ama dia, mentang-mentang dia deketin lo, lo jadi keenakan. Hei, ayolah, sadar diri, sadar diri, Oi!” Sonny, yang berbicara, berucap dengan nada sinis.


“A-apa maksudmu?” lagi, Midan lagi-lagi membuat ekspresi anak yang tak berdaya; tubuhnya dibuat seperti orang yang ketakutan--gemetaran.


Orang yang di belakang Sonny, Abel, yang tubuhnya lebih besar dari yang lain menerobos ke depan, ia luapkan amarah.


“Dasar dungu, intinya, jangan dekati dia lagi, lu hanya ngerusak pemandangan, tahu!”


Brang!


Mesin penjual minuman otomatis di belakang Midan dihentakkan keras oleh tangan Abel. Mesin itu bergoyang. Midan tak sedikit pun menghindar. Meskipun ia bisa mengalahkan mereka sekaligus karena pernah belajar ilmu beladiri silat, ia tak mau melakukannya. Alih-alih menghindar dari masalah, nantinya ia malah mengundang masalah lain.


‘Cih, ketiga sialan ini. Kalau saja gak ngerusak hidup damai ane, udah dibikin bonyok nih anak-anak belagu,’ Midan meracau dalam hati.


Suara decakan Midan tak dapat disembunyikan. Orang-orang itu makin emosi.


“Apa-apaan lu, ngelunjak ya sama kita?!” suara mereka naik, menyuarakan kekesalan mereka dengan volume yang lumayan.


‘Apa mesti dilawan nih? Apa kudu copot topeng sebagai bocah yang lemah, nih?’


Midan menimbang-menimbang dengan wajah tertunduk. Selama ini, dia menyembunyikan semua bakatnya agar tidak terlihat mencolok. Selama ini, dia hanya berpura-pura sebagai anak yang lemah. Sekarang, apa dia harus mengeluarkan kemampuan yang sebenarnya.


‘Apa hari yang selalu kujauhi akan terjadi pada hari ini?’ Midan masih berdiskusi dengan dirinya sendiri.


“Oi Kunyuk, jawab! Jawab! Oi, Dasar brengsek lu, jawab!” orang bernama Abel semakin menyolot.


Tangan Midan dikepal erat-erat. Semua hal yang ia pelajari sampai sekarang hanya untuk menjamin hidup damainya. Ia belajar beladiri hanya agar dapat terhindar dari serangan fatal dan luka yang merepotkan. Ia hanya mau tubuh yang kuat. Dia belajar ke titik tertinggi hanya untuk memanipulasi sesuka hati skor ulangannya, mendapatkan nilai yang pas sesuai keinginannya.


Ia berpenampilan biasa hanya karena ia tak ingin jadi pusat perhatian. Ia memutuskan hidup sendiri karena di rumahnya banyak orang-orang yang cari perhatian dengannya sebagai anak dari pengusaha yang kaya. Ia mengganti nama belakangnya hanya untuk mendapatkan kedamaian yang ia impi-impikan.


‘Kalo gak ngelakuin hal ini, mana ada yang nolongin di tempat kayak gini, para keroco ini gak akan ngelepasin target gitu saja. Kalo bisa lepas juga, karena Aida masih aja nempel kayak stiker, mereka pasti akan sering gangguin, ngerusakin hidup damai yang selama ini kubuat. Tapi, buat nunjukin taring, terus mereka kalah, ini bakal jadi berita heboh, mereka siswa paling bandel soalnya. Lalu pastinya, setelah itu aku bakalan … Ah aku ogah. Males banget. Tapi kalau gak gini, mereka bakalan ganggu. Duh, bingung, apa bener kudu diabisin aja nih orang?’ Midan merasakan dilema. Tapi, karena keadaan mendesak dia cepat mengambil keputusan.


Karena jalan untuk keluar sepenuhnya tertutupi, kepalan tangan Midan pun maju, hendak meninju perut orang di depannya sebagai pengalih perhatian. Tepat sesaat sebelum tangannya mengenai sasaran, seorang gadis menyeru ke arah dia dan 3 orang siswa berandalan yang mengurungi Midan berpaling ke arah suara. Midan menarik kembali tangannya.


“Hei, sedang apa kalian? Jika itu tindak kekerasan, aku tak segan untuk melapor dan memanggil guru kemari.”


‘Aida, huh … syukurlah, jika sohibahku ini telat sebentar saja, hidup damaiku pasti udah melayang.’


Ketiga siswa berandalan bubar setelah berdecak kesal. Mereka mendengus kesal dan menatap Midan tajam sesaat, lalu mendekati Aida.


“Tidak, tidak, Aida. Kami cuma diskusi pelajaran saja sama Midan, kami hanya terlalu bersemangat saja,” Sonny berdalih, menutupi kejadian yang sebenarnya.


“Apa itu benar?” Aida buat raut muka tak percaya. Sonny tersenyum masam.


“Itu benarkan, Midan?”


Midan sebenarnya paling malas dengan yang namanya berbohong, tapi--


“I-iya, itu benar.”


--dia lebih benci menghancurkan hidup damainya.


Ketiga siswa berandal pergi dari tempat itu. Aida mendekati Midan dengan senyum penuh siasat. Midan mendesah berat. Entah masalah apalagi yang akan dihadapinya, tapi untuk berharap itu tak akan terjadi, itu adalah hal yang mustahil terjadi. Itu adalah hal yang pelik saat dia berhutang budi pada Aida seperti ini.


***


“Mi~dan, Aa~mm."


Midan membuka mulutnya dan melahap apa yang disuapkan ke mulutnya oleh Aida. Tatapan-tatapan tajam dan menusuk terasa di punggungnya. Jika saja dia tak berhutang budi pada Aida beberapa saat lalu, dia gak mungkin ngelakuin hal yang paling ngejengkelin dan ngerepotin kayak gini.


Laki-laki, bahkan perempuan yang sama-sama mengagumi Aida, menghina, menyuraki bahkan ada yang merapalkan mantra kutukan pada Midan. Midan pun dibuat tak enak makan.


‘Sialan, Aida. Kalo aja idup damai ane gak terancam, ngelakuin hal kayak gini itu, ane ogah banget,’ Midan mendamprat habis-habisan dalam hati.


“Mi~dan, lagi-lagi. Aa~hm,” Aida dengan sengaja menyuapi Midan kembali. Suasana di sekitar kelasnya semakin ribut, siswa atau siswi banyak ngerumunin kelasnya.


Dengan wajah kesal, Midan mengunyah makanannya. Untuk pencitraan, senyuman yang dipaksakan ia pasang di mukanya. Matanya berbinar; ia merasa sedih akan dirinya karena hal semerepotkan ini menimpanya. Orang-orang semakin geram. Iri hati mulai menyebar menjadi energi negatif yang menyesakkan dada Midan.


Aida cekikikan. Raut di muka Midan makin memotivasinya untuk menggoda.


‘Sialan, dasar Aida sialan!’


Karena permintaan Aida, kelas itu hanya diisi oleh 4 orang saja termasuk Midan dan Aida. 2 yang lain adalah siswi yang duduk di bangku di depan Midan yang sepertinya tengah mengerjakan tugas. Sikap keduanya berbeda dari para siswa dan siswi yang tengah beriri hati. Mereka bersikap biasa, tak terpengaruh dengan hal yang berada di dekat mereka. Alasannya karena mereka berdua sudah tahu identitas asli seorang Midan Zaidil atau lebih tepatnya Midan Mahendra.


Siswi yang pertama, Cahya Dwinanda, murid seperguruan dengan Midan. Saat mereka bertemu pertama kali ia juga tak menyangka, murid silat paling tanggap di perguruan itu ternyata Midan. Ya, itu wajar, saat latihan, Midan melepas kacamatanya dan merubah tatanan rambutnya. Setelah berjanji untuk tetap diam, Midan pun mulai terbuka dengannya. Hubungan pertemanan pun terjalin di keduanya.


Siswi kedua, Meitha Sulistia Salim, dia adalah orang yang pernah diselamatkan oleh Midan saat ia hampir saja tertabrak mobil. Keluarga mereka berkenalan baik dan menjalin kerja sama. Jadi, tak aneh bila dia memang mengenal pribadi Midan seperti Aida. Dia tahu alasan Midan melakukan hal seperti ini.


Mereka berdua tak iri dengan Midan, malah mereka iri dengan kedekatan Aida dengan Midan.


“Mi~dan, Aa~hhm," Aida kembali menyuapi, tapi kali ini Midan tak merespon, ia hanya tertegun.


‘Aku merasakan hal yang buruk akan terjadi, waktu istirahat kali ini harusnya sudah berakhir 20 menit yang lalu, apapun alasannya ini terlalu panjang.’


“Midan, kena--”


BUM!!! DUAR!!!


“--PA!!!”


Suara ledakan tiba-tiba terdengar. Bangunan kelasnya tiba-tiba berguncang. Suara bedebam menggantikan hinaan-hinaan yang dilemparkan. Siswa yang berada di sekitaran kelas Midan pun berhamburan, pada lari tunggang langgang dari tempat itu. Mereka tak peduli lagi dengan keadaan Midan yang membuat mereka iri; ketakutan yang lebih kuat menyerang mereka.


Penyebab dari semua itu, sebuah ledakan tiba-tiba mengacau dan sebagian kelas yang berada di lantai dua dan bangunan itu, runtuh. Lubang besar tercipta. Sebagian ruangan kelas terbuka dan menjadi puing ke lapangan di bawah kelas itu. Ledakan yang sebelumnya cukup kuat, mungkin berasal dari beberapa buah TNT yang dipasang. Orang yang berada di dalam kelas pun tergeletak di lantai dan mengerang kesakitan.


Midan yang tadinya merasa jengkel dengan sifat Aida, mau tak mau dia merasa kasihan dan takut kehilangan sekarang. Aida berlumuran darah. Baju putihnya kini berbercak merah. Dia tergeletak dengan sebagian tubuhnya tertindih atap kelas. Tak jauh beda dengan Aida, Cahya dan Meitha juga terluka, beberapa tulang mereka patah.


Darah keluar dari kepala Midan. Warna merah, darahnya menutupi sebagian wajahnya. Di kelas itu, tak ada orang lain selain mereka berempat yang semuanya hanya tergeletak, tak bisa beranjak ataupun bangun.


Tak! Kling! Kling!


Beberapa buah granat dilemparkan ke arah mereka, tergeletak begitu saja sedang pemicunya sudah tak ada; telah ditarik.


‘Oh, ternyata hari ini Tuhan mengabulkan permintaanku, hem, ketenangan ... dialam sana. Baiklah saatnya hitung mundur… 3… 2… 1!!’ Midan menghitung dalam hati, sudah pasrah akan ajalnya yang mungkin sebentar lagi menjemput.


Mata Midan bergetar, ledakan yang ia bayangkan tak datang. Ia perlahan membuka matanya. Hal yang diluar nalar membuat matanya terbelalak seketika.


Waktu berhenti, ledakan tertahan, lingkaran seperti formasi sihir berwarna violet--seperti di game yang ia mainkan--menyala di bawah lantai.


Meski sempat merasa takjub, dia tak terfokus dengan hal itu sekarang. Kali ini, nyawa semua orang yang ada di sekitarnya--khususnya Aida--yang harus ia prioritaskan. Dia bergerak dengan sikunya, bergeser sedikit demi sedikit ke dekat Aida yang tak sadarkan diri seperti tentara yang merayap saat tiarap.


‘Aida!!’


Tepat saat tangannya bersentuhan, cahaya putih dari bawah, dari formasi sihir yang melingkupi dia dan tiga siswi termasuk Aida, memancar bersama suara yang mendengung. Silau, matanya tak bisa bekerja. Pancaran itu menutupi semua pandangannya. Pendengarannya tertutup suara yang beresonansi.


Beberapa saat kemudian, pancaran sinar dan suara mendengung hilang, berganti dengan kegelapan pekat dan keheningan. Ia membuka mata atau menutup mata tak jauh beda, semuanya … hitam. Ia menggerakan tangan, tapi ia tak yakin tangannya bergerak karena gelap menutupinya. Ia menendangkan kaki, tapi tak ada satupun alas yang ia kenai; ia … mengambang.


“Midan.”


Seruan terdengar. Midan menoleh ke sana kemari, mencari sumber suara. Meski hanya gelap dan hitam, ia tetap mencari asal suara.


“Midan.”


Suara yang sama terdengar. Setelah beberapa saat termangu, dia menyadari bahwa suara itu langsung memasuki otaknya; itu sebuah telepati.


“Siapa kau?!” Midan memekik, bertanya dengan suara yang lantang.


“Tak perlu kautahu siapa aku, yang jelas, kali ini akan kujelaskan apa yang akan harus kaulakukan kedepannya.”


Dengan entengnya, suara itu membalas. Midan tersenyum kecut. Kekhawatirannya semakin meningkat. Ia hendak bertanya kembali, tapi suara yang berbisik ke kepalanya langsung itu mendahului menjawab.


“Jangan khawatirkan, Aida, dia dan yang lainnya juga akan datang ke tempat yang sama denganmu.”


Kekhawatiran Midan sedikit berkurang, tapi ia tak menurunkan kewaspadaannya. Yang jadi pertanyaanya kali ini, “dia akan dibawa kemana?”


Suara itu menjawab panjang lebar. Dia memberi arahan singkat tentang apa yang mesti dilakukan, memberi penjelasan tentang dunia di mana mereka akan direinkarnasikan dan seluk beluknya, memberi tahu kondisi yang sedang terjadi, dan memberitahukan kondisi dan titik awal Midan berada. Dia juga berjanji akan mengembalikan Midan dan ketiga gadis ke dunia asal mereka asal tugas yang diberikan selesai dilakukan. “…Ya itu terserah kau saja, jika kau ingin kembali maka kau harus menyelesaikan misi dariku.”


“Oi, itu kepanjangan, bisa disingkat gak sih!” Midan yang merasa kesal dengan penjelasan yang hampir seperti orasi itu berteriak.


“Kau itu… baiklah, singkatnya, kalian akan direinkarnasikan di dunia yang lain, hal yang perlu kalian lakukan akan kalian ketahui nanti. Tapi sebagai awalan, hanya kau saja yang akan diberikan ingatan tentang duniamu yang sebelumnya, nanti kauharus mereka semua untuk mencari jawabannya, lalu menyelesaikan misi untuk kembali ke duniamu, apa itu cukup?”


Midan berhenti berbicara lewat mulutnya, mau dalam hati atau pakai mulut sama saja, suara itu pasti dapat mendengarnya. Abisin suara malah bikin repot.


‘Apa maksudmu?’


“Dari penjelasanku sebelumnya, itu sudah cukup jelas, bukan? Jika kau ingin menolak, itu bisa saja, tapi biar kuberitahu, jika kau kembali saat ini sebelum misi yang kuberikan selesai, kau tak akan dalam keadaan hidup atau mungkin bisa kukatakan, kau hanya bisa hidup beberapa saat sebelum granat itu meledak. Atau bisa saja aku menyelamatkanmu, tapi hidupmu bakal dibayangi oleh kekacauan dan wawancara reporter yang akan merusak ketenangan hidupmu. Ingat juga, ketiga gadis yang bersamamu sebelumnya tak akan ada di sana saat kau kembali.”


‘Cih, kau licik juga, ya.’


Midan terpojok. Tapi, kesepakatannya itu memang lumayan, tak terlalu buruk. Mau tak mau, ia harus menurut. Aida akan ada di dunia yang lain, jadi dia sangat khawatir akan bahaya dan kecerobohannya. Dia masih ingin bertemu dengan sahabatnya itu.


‘Jadi, apa yang harus kulakukan di sana?’


“Aku gak mau jawab lagi. Aku ngomong panjang-panjang, lalu kau minta menyingkatnya, kau egois. Cari aja sendiri!”


‘Oi!’


“Hah …, biar kuberi sedikit kabar bagus, kau di sana akan memiliki kemampuan yang ‘Overpower’.”


‘Lagi-lagi hal yang merepotkan, sialan. Di dunia mana pun aku tak bisa hidup tenang, rupanya.’


“Oi, oi, oi. Jangan ngeluh begitu, itu lebih baik dibandingkan hidup di duniamu sebelumnya, kau pasti tahu hal yang gak aneh denganmu nanti. Kan kuberikan kata ajaib yang mungkin bakal berguna, [Status], kau akan tahu gunanya nanti.”


‘Cih, dasar. Ya …, itu tak buruk juga.’


“Bersiaplah, beberapa saat lagi, kau akan dikirim ke sana.”


“Haah …,” Midan mendesah. “tolong, jangan buat aku kerepotan juga di sana.”


Midan menarik napasnya dalam. Setelah menghembuskannya perlahan, tempat gelap pekat itu tiba-tiba menjadi putih dan menyilaukan. Midan terpaksa menghalangi mata dengan lengannya karena intensitas cahaya tak dapat diterima sepenuhnya oleh matanya.


Cahaya yang menyilaukan redup. Desiran angin terdengar. Suara gemersik daun menggelitik telinganya. Rumput-rumput kecil menggelitik tengkuknya. Hangat yang tak asing menerpa semua anggota tubuhnya; itu sinar matahari.


Perlahan, matanya mengerdip dan membuka; langit biru berada di ujung cakrawala. Padang rumput hijau berada di depannya. Dia bangkitkan tubuh, dia merasakan kejanggalan, bingung dan kecemasan. Dia mendekati air yang tak jauh darinya; dia bercermin lewat sana.


“Pantas saja, ternyata aku kembali ke ukuran bocah. Seperti namanya, ‘Reinkarnasi’.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips praktis mengalikan angka 5

Tips praktis membagi dengan angka 5

What's On?

RSS Feed

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner